Selasa, 10 November 2009

SENI PERTUNJUKAN MODERN SEBAGAI BUDAYA INDUSTRI

PENDAHULUAN

Hakekat seni pertunjukan adalah gerak, adalah perubahan keadaan. Karena itu substansinya terletak pada imajinasi-imajinasi serta prosesnya sekaligus. Suatu daya rangkum adalah sarananya, suatu cekaman rasa adalah tujuan seninya, keterampilan teknis adalah bahannya. Contoh dari seni pertunjukan diantaranya drama, teather dan tari.
Kebiasaan disengaja inilah yang memunculkan istilah seni pertunjukan, suatu ungkapan seni yang digelar untuk dipertontonkan kepada umum. Apalagi dengan adanya media televisi sangat global dalam menampilkan beragam acara yang ditayangkan. Ungkapan-ungkapan seni dimulai dari musik populer, tarian latar bagi lagu dan penyanyi serta berbagai sinetron yang kejar tayang.
Pada saat seni pertunjukan telah mengalami pergeseran fungsi. Perkembangan Zaman telah membuat fungsi dari seni pertunjukan semakin liberal. Adanya seni dalam sebuah pertunjukan tak lagi diutamakan. Pertunjukan yang ada saat ini lebih menitikberatkan pada selera pasar. Pertunjukan yang dikatakan sukses haruslah memiliki jaringan konsumen yang besar. Dengan adanya anggapan bahwa sukses tidaknya sebuah pertunjukan diukur dari selera konsumen, maka mereka sebagai pencipta seni pertunjukan tak lagi mengutamakan tentang seni itu sendiri. Hal ini terbukti dengan banyaknya sebuah karya pertunjukan yang sukses dipasaran, tetapi kualitas seninya kurang. Kebanyakan masyarakat, mereka malah lebih suka menonton pertunjukan yang demikian. Dengan demikian munculah istilah populer.
Jika dibandingkan dengan perkembangan pertunjukan yang ada pada masa dulu, tentu saja banyak terjadi pergeseran. Jika dahulu seseorang menciptakan sebuah pertunjukan sebagai media untuk mengekspresikan seni, akan berbeda dengan seni pertunjukan sekarang. Orang-orang berlomba-lomba menciptakan seni pertunjukan untuk menciptakan pertunjukan yang berdaya jual tinggi.

SENI PERTUNJUKAN MODERN YANG BERDAYA JUAL

Budaya industri seni pertunjukan mau tak mau merasuki budaya masyarakat bangsa dan negara Republik Indonesia. Mau menonton asal ada saweran, mau menikmati budaya sakral dan budaya khas Nusantara asal berbayar. Penonton barulah boleh menikmati seni pertunjukan. Kultur industrial mulai masuk dalam kemasan dan paket hiburan yang berdaya tarik yang bernilai jual. Pola bayar-membayar untuk menonton seni pertunjukkan ini, meski akhirnya menuai protes karena saban pentas kerap diperjualbelikan dan diperdagangkan justru menimbulkan ketegangan. Mau kemana seni industri dan seni pertunjukan di Indonesia ini? Jawaban dari Butet Kartaredjasa, pemakalah berjuluk “Seni Pertunjukan dan Kultur Industrial?” (Kamis 12/7 pukul 10.00 WIB di Ruang Merak Balai Sidang Jakarta pada Pekan Produk Budaya Indonesia) boleh jadi cocok dengan kondisi seni pertunjukan dan kultur industrial saat ini.
Yang pertama-tama perlu dicermati ketika membicarakan perihal hubungan antara seni pertunjukan dengan laju perkembangan industrial adalah pembedaan antara seni pertunjukan sebagai aktivitas atau proses dan seni pertunjukan sebagai produk. Memang antara proses dan produk seharusnya tidak terpisah. Tapi di sini yang harus dibedakan dengan jelas adalah bahwa proses dalam seni pertunjukan mengacu pada aktivitas sosial atau aktivitas yang memiliki akar kuat dalam kultur masyarakat tradisional kita. Di sini seni pertunjukan merupakan bagian dari budaya tradisional seperti dalam ritual-ritual keagamaan atau upacara tradisional yang lain.
Dalam aktivitas tradisional semacam itu, seni pertunjukan sama sekali berbeda dengan aktivitas dalam kebudayaan industrial. Upaya komodifikasi terhadap seni pertunjukan sebagai proses dapat dikatakan nyaris mustahil karena kegiatan sosial semacam itu merupakan bagian dari pemenuhan kebutuhan komunal masyarakat tempat seni tersebut tumbuh. Seni pertunjukan tidak akan mati jika masyarakat penyangga yang tradisional itu masih hidup, ini dapat kita jumpai dalam berbagai seni pertunjukan tradisional di Jawa, Bali, dan berbagai suku yang lain.
Wayang kulit adalah contoh yang paling bagus. Hingga hari ini pergelaran wayang kulit tidak pernah mati dan para dalang wayang kulit masih terus bertahan di tengah gempuran industri hiburan modern. Salah satu menyebab bertahannya pertunjukan wayang kulit adalah pola kehidupan tradisional yang kuat meski para penonton sudah memasuki cara hidup modern. Upaya modifikasi atau pemoderan gaya pertunjukan wayang kulit (dengan instrumen musik dan bintang tamu selebritis misalnya) hanya berguna sebagai aksen. Istilah Jawanya hanya sebagai penglaris. Selebihnya wayang kulit tetap bertahan dengan pola tradisional, mulai dari pakem cerita hingga bangunan aksesori yang dibutuhkan dalam musik atau plot yang sudah menjadi baku.
Wayang kulit di Jawa (Tengah) masih menjadi bagian dari upacara sosial yang penting. Artinya, wayang kulit tidak hanya dilihat sebagai produk, melainkan bagian dari ekspresi dan artikulasi sosial-budaya para penonton. Dia memiliki akar yang kuat dalam kesadaran para penonton. Wayang kulit juga masih menjadi bagian penting dari kebudayaan lisan masyarakat Jawa. Dalam kasus wayang kulit, antara proses dan produk sama sama penting. Proses dalam arti bahwa wayang kulit adalah seni pertunjukan lisan yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat dalam budaya lisan yang kuat. Sementara produknya (pertunjukan wayang kulit) itu merupakan perwujudan dari budaya lisan Jawa yang sampai sekarang belum tergantikan oleh seni pertunjukan modern yang ada.
Seni pertunjukan modern (drama, film, sinetron) yang diproduksi oleh industri hiburan di Indonesia selama ini selalu menggunakan bahasa Indonesia, sementara masyarakat kita dalam kehidupan sehari-hari masih banyak yang menggunakan bahasa daerah masing-masing. Artinya, seni pertunjukan modern belum menjadi bagian (proses) berbahasa masyarakat di daerah-daerah. Maka, seni pertunjukan semacam ini hanya dapat diambil sebagai produk, dan bukan sebagai proses.
Dalam budaya industrial yang mementingkan produk massal, seni pertunjukan hams dilihat sebagai produk. Dalam kebudayaan tradisional seni pertunjukan lebih dilihat sebagai proses. Maka, jika berbicara bagaimana membangkitkan seni pertunjukan sebagai bagian dari industri, kita harus mengambil sebagai produk. Maka jika orang menciptakan seni pertunjukan dalam budaya industrial, orientasinya juga produk.
Pertanyaannya adalah, bagaimana memproduk seni pertunjukan melulu sebagai produk jika tidak didukung oleh proses yang kuat? Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa seni pertunjukan sebagai seni (kreatif) akan menghadapi bahaya jika harus memenuhi arus percepatan produksi massal dalam kecepatan tinggi. Banyak seniman seni pertunjukan (berbasis seni tradisi atau seni modern) yang akhirnya menjadi mekanis akibat memenuhi tuntutan percepatan produksi. Para seniman menjadi kehabisan energi dan ide sehingga hanya mengulang-ulang produk.
Asasnya kemudian bukan pada kreativitas orisinal, melainkan pada reproduksi. Suatu produk akan direpro terus-menerus, kalau perlu dibuat ulang dengan versi baru, begitu seterusnya, agar memenuhi target (kejar tayang). Jika kemudian suatu produk dirasa sudah habis daya jual, maka dibuang saja lalu menciptakan bentuk lain yang belum tentu suatu inovasi baru. Masyarakat industrial pada dasarnya memang tidak peduli dengan orisinalitas. Sesuatu yang hari ini ngetrend dan dianggap baru, besok sudah usang dan dilupakan. Maka besoknya orang memerlukan sesuatu yang baru, meski hal itu hanya pengulangan dari yang lama. Kebaruan bukan pada isi, melainkan pada kemasan.
Itulah asas reproduksi dalam budaya industrial. Yang penting adalah tampilan atau kemasan, dan bukan substansi atau saripati atau isi di balik kemasan itu. Sebenarnya watak manusia industrial dalam hal ini tidak berbeda jauh dengan watak masyarakat tradisional (budaya lisan) yang cepat melupakan sesuatu dan besok mengunyah sesuatu yang lain. Besoknya lagi sudah bosan dan lupa dengan sesuatu itu, lalu melupakannya lagi. Begitu seterusnya.

KESIMPULAN

Dalam perkembangan seni pertunjukan di Indonesia telah banyak terjadi hubungan lintas budaya antarsuku-suku bangsa di Indonesia. Para seniman yang melakukan “anjangsana” budaya pada dasarnya telah mempunyai kesiapan untuk membuka diri dan menyibak sumber-sumber baru di hadapannya merupakan suatu misteri atau pun tantangan. Sikap dasarnya telah siap untuk menerima situasi multikultural sebagai suatu
Budaya industri seni pertunjukan mau tak mau merasuki budaya masyarakat bangsa dan negara Republik Indonesia. Mau menonton asal ada saweran, mau menikmati budaya sakral dan budaya khas Nusantara asal berbayar. Penonton barulah boleh menikmati seni pertunjukan. Kultur industrial mulai masuk dalam kemasan dan paket hiburan yang berdaya tarik yang bernilai jual. Pola bayar-membayar untuk menonton seni pertunjukkan ini, meski akhirnya menuai protes karena saban pentas kerap diperjualbelikan dan diperdagangkan justru menimbulkan ketegangan.
Yang pertama-tama perlu dicermati ketika membicarakan perihal hubungan antara seni pertunjukan dengan laju perkembangan industrial adalah pembedaan antara seni pertunjukan sebagai aktivitas atau proses dan seni pertunjukan sebagai produk. Memang antara proses dan produk seharusnya tidak terpisah. Tapi di sini yang harus dibedakan dengan jelas adalah bahwa proses dalam seni pertunjukan mengacu pada aktivitas sosial atau aktivitas yang memiliki akar kuat dalam kultur masyarakat tradisional kita. Di sini seni pertunjukan merupakan bagian dari budaya tradisional seperti dalam ritual-ritual keagamaan atau upacara tradisional yang lain.
Upaya komodifikasi terhadap seni pertunjukan sebagai proses dapat dikatakan nyaris mustahil karena kegiatan sosial semacam itu merupakan bagian dari pemenuhan kebutuhan komunal masyarakat tempat seni tersebut tumbuh. Seni pertunjukan tidak akan mati jika masyarakat penyangga yang tradisional itu masih hidup, ini dapat kita jumpai dalam berbagai seni pertunjukan tradisional di Jawa, Bali, dan berbagai suku yang lain.

LEGENDA PETILASAN SANG PRABU SRI AJI JOYOBOYO


Joyoboyo merupakan sosok yang terkenal sebagai seorang raja pada zaman Kerajaan Kediri. Ia terkenal karena Kerajaan Kediri mencapai masa kejayaan pada zaman pemerintahan Joyoboyo yaitu pada tahun 1135-1157 Ma¬sehi. Selain menjadi seorang raja, Joyoboyo juga dikenal sebagai seorang yang sakti. Ia dipercaya memiliki kejernihan batin sehingga Ia mampu memperkirakan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Ramalan-ramalan ini diwujudkan dalam kitabnya yang terkenal yaitu Jangka Jayabaya.
Meskipun demikian, masyarakat banyak yang kurang tahu mengenai Legenda Petilasan Sri Aji Joyoboyo. Petilasan ini terletak di Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri. Legenda merupakan salah satu bentuk karya sastra lisan yang harus dilestarikan. Legenda Petilasan Joyoboyo ini merupakan warisan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Kediri, terutama bagi masyarakat Menang.
Petilasan berasal dari istilah Jawa yaitu kata dasar tilas yang berarti bekas. Petilasan merupakan suatu tempat yang pernah disinggahi atau didiami oleh seseorang yang dianggap penting. Pada umumnya, yang disebut sebagai petilasan adalah tempat tinggal, tempat beristirahat (dalam pengembaraan yang relatif lama), tempat pertapaan, atau tempat terjadinya peristiwa penting.
Semasa hidupnya, Raja Joyoboyo memiliki seorang permaisuri yang bernama Dewi Sara. Dari hasil perkawinannya, Raja Joyoboyo memiliki tiga orang putri dan seorang putra. Tiga orang putri tersebut adalah Dewi Pramesti, Dewi Pramuna, Dewi Sasanti, dan seorang putra bernama Raden Jayaamijaya. Namun, pada saat ketiga putrinya telah dewasa dan menikah. Mereka bertiga diceraikan dan menjadi janda. Padahal, saat Dewi Pramasti diceraikan, ia sedang hamil.
Pada masa kehamilan Dewi Pramasti yang telah mencapai sembilan bulan, Dewi Pramasti tidak juga melahirkan. Ia malah terus menerus kesakitan selama tujuh hari tujuh malam. Melihat keadaan putrinya yang demikian, maka Raja Joyoboyo dan istrinya memohon petunjuk dewata. Waktu itu, Raja Joyoboyo mendapat bisikan bahwa Ia harus melepaskan kedudukannya sebagai titisan Batara Wisnu. Demi cucu dan mengingat bahwa usianya telah semakin lanjut, maka ia segera ngraga sukma yaitu melepaskan sukma sebagai titisan Dewa Wisnu.
Tidak lama kemudian lahirlah seorang putra yang diberi nama Anglingdarma. Lahirnya Anglingdarma ditandai dengan suasana alam yang benar-benar menakutkan. Kilat sambung menyambung, hari gelap gulita dan gempa pun menggoncang bumi. Seolah dunia akan berakhir saat itu juga. Melihat keadaan tersebut, Raja Joyoboyo memanggil seluruh perwira dan kerabat keraton. Beliau mengumumkan tentang kelahiran Anglingdarma. Dari tubuh Anglingdarma tampak sinar (cahaya) terang memancar. Tapi bersamaan dengan itu pula para perwira dan kerabat kaget. Raja Joyoboyo muksa, kembali ke alam kelanggengan.
Petilasan Sri Aji Joyoboyo dibagi menjadi dua tempat yaitu Pamuksan Joyoboyo dan Sendang Tirtokamandanu. Meskipun terdiri dari dua tempat yang terpisah, tetapi merupakan satu kesatuan. Sebelum memasuki Petilasan Sri Aji Joyoboyo, kita akan melewati tiga pintu. Dalam hal ini, masyarakat Jawa percaya jika manusia pasti mengalami tiga alam kehidupan, yaitu alam kandungan, alam nyata, dan alam sukma atau alam akhirat.
Sesuai dengan asal katanya, pamuksan dapat diartikan sebagai tempat muksa dari Prabu Joyoboyo. Menurut legenda yang ada, Joyoboyo tidak dikatakan meninggal tetapi Ia muksa yaitu menghilang bersama jasadnya. Dalam pamuksan ni terdapat loka muksa, loka busana dan loka makuta. Masyarakat percaya terhadap hal tersebut, karena sampai sekarang jasad Joyoboyo tidak diketemukan.
Pamuksan Sri Aji Joyoboyo dipugar pada 22 Februari 1975 dan diresmikan pada 17 April 1976. Loka muksa yaitu tempat muksanya Prabu Joyoboyo. Loka busana adalah tempat busana dari Prabu Joyoboyo, sedang¬kan loka makuta adalah tempat mahkotanya.
Sedangkan Sendang Tirtokamandanu merupakan sendang yang dipakai oleh Joyoboyo sebelum Ia muksa. Tirto berarti air dan kamandanu berarti kehi¬dupan. Jadi Tirtokamandanu dapat diartikan sebagai air kehidupan. Dalam hal ini adalah hidup kembali menjadi seseorang yang suci. Masyarakat percaya air sendang tersebut mampu mensucikan. Oleh sebab itu, sebelum masyarakat berdoa meminta berkah mereka akan mandi di sendang terlebih dahulu. Sendang Tirtokamandanu dipugar
pada tahun 1982. Pemugaran ini diprakarsai oleh Keluarga Besar Hondodenta, Keraton Jogjakarta, yang dikoordinir oleh Sri Sultan HamengkuBuwono VI.
Mengingat bahwa Joyoboyo adalah tokoh yang sakti, maka banyak masyarakat yang datang ke petilasan untuk meminta berkah. Tidak hanya terbatas pada warga sekitar saja tetapi juga masyarakat luar Kediri. Bagi masyarakat, ter¬da¬¬¬¬pat empat tempat yang dianggap sakral yaitu loka muksa, loka busana, loka makuta, dan sendang tirtokamandanu. Loka muksa dianggap sebagai tempat muksanya Prabu Joyoboyo. Loka busana merupakan tempat busana. Loka makuta berarti tempat mahkota. Sedangkan sendang tirtokamandanu merupakan pe¬mandian yang digunakan oleh Joyoboyo sebelum Ia muksa.
Selain dianggap sebagai tokoh yang sakti, Joyoboyo merupakan leluhur dari masyarakat Kediri. Oleh karena itu kepercayaan masyarakat terhadap peti¬lasan pun masih sangat tinggi. Masyarakat selalu menyelenggarakan upacara adat atau ritual khusus sebagai bentuk kepercayaan masyarakat terhadap petilasan. Ritual ini dilaksanakan setiap tanggal 1 Muharam atau 1 Suro. Dalam upacara ini biasanya berupa arak-arakan yang dimulai dari balai desa Menang menuju ke loka muksa lalu berakhir di sendang Tirtokamandanu.
Selain sebagai salah satu bentuk sastra lisan, legenda petilasan ini juga sebagai warisan budaya yang dimiliki oleh masyarakat. Tidak hanya sebagai aset bagi warga masyarakat Menang saja karena telah dipotensikan sebagai tempat wisata daerah Menang, tetapi juga bagi bangsa Indonesia karena legenda adalah salah satu bentuk khasanan budaya bangsa Indonesia yang harus dilestarikan.

Senin, 11 Mei 2009

Apa itu Sastra Lisan?

Sastra lisan merupakan karya sastra yang dapat kita temukan dalam masyarakat. Sastra lisan merupakan karya sastra yang beredar di masyarakat atau diwariskan secara turun-menurun dalam bentuk lisan. Dalam hal ini, sastra lisan dapat disebut sebagai folklor. Folk merupakan sebuah komunitas masyarakat tertentu yang memiliki ciri-ciri dan budaya yang sama. Sedangkan lore merupakan sebagian kebudayaan masyarakat yang disampaikan secara turun-menurun dalam bentuk lisan. Jadi, folklor atau sastra lisan adalah suatu kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat tertentu yang diperoleh secara turun-temurun dari mulut ke mulut secara lisan.

Banyak sekali sastra lisan yang ada di sekitar kita yang mungkin saja tidak kita sadari keberadaannya sebagai bentuk sastra. Sastra lisan bermacam-macam. Macam-macam dari sastra lisan ini antara lain sebagai berikut.

  1. Bahasa rakyat seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan.
  2. Ungkapan tradisional seperti peribahasa, pepatah, dan pemeo.
  3. Pertanyaan tradisional seperti teka-teki.
  4. Puisi rakyat seperti pantun, gurindam, dan syair.
  5. Cerita prosa rakyat sepeti mite, legenda, dan dongeng.
  6. Nyanyian rakyat.

Sastra lisan yang dimiliki oleh suatu daerah tertentu, umumnya akan berbeda dengan yang lain. Bahkan dalam daerah yang bersangkutan terdapat kemungkinan tentang adanya versi. Hal ini tidak menjadi persoalan karena ciri khas dari sebuah karya sastra lisan adalah dengan adanya versi. Namun, hal yang menjadi perhatian kita adalah tentang keberadaan sastra lisan yang ada di daerah kita. Memang banyak peneliti yang telah mengkaji sastra lisan yang ada di Indonesia, tetapi masih banyak juga sastra lisan yang terlewatkan oleh peneliti.

Sastra lisan merupakan warisan budaya yang kita miliki. Sudah seharusnya kita sebagai bagian dari masyarakat untuk melestarikannya agar jangan sampai semua itu luntur. Sastra lisan merupakan kajian yang menarik jika kita mampu menelusuri lebih dalam tentang sebuah sastra lisan. Banyak hal yang terkandung dalam sebuah sastra lisan, tidak hanya mencakup makna simbolik, fungsi, serta nilai tetapi juga dapat kita kaji aspek strukturnya sebagaimana struktur dalan sebuah karya sastra. Seperti halnya dengan sebuah karya sastra, sastra lisan dapat ditafsirkan sebagai langkah untuk memperoleh pesan, makna, dan fungsi.

Sebagai contoh terdapat ungkapan endas gundul dikepeti, melu ngudek luluh yo kudu gelem reged, maupun ungkapan ora gopak pulut kok mangan nangkane. Sesuai dengan bahasa yang digunakan, ungkapan tersebut dipakai oleh masyarakat Jawa. Memang tidak semua masyarakat Jawa masih menggunakan, namun ungkapan ini masih dapat ditemui di daerah Trenggalek, Ponorogo dan sekitarnya. Jika dianalisis, maka tiap ungkapan tersebut memiliki pesan yang tersirat.

Pada ungkapan yang pertama yaitu endas gundul dikepeti, artinya sudah enak di enak-enakan lagi. Orang yang hidupnya sudah enak malah dimanja oleh orang lain. Biasanya ungkapan ini diucapkan kepada anak orang kaya yang dimanja. Atau orang kaya yang diperlakukan baik di bidang hukum. Kemudian ungkapan melu ngudek luluh yo kudu gelem reged. Ungkaan tersebut berarti ikut mencampur bahan betonnya harus mau kotor. Maksudnya jika kita ikut menyelesaikan masalah, maka kita juga harus berani menanggung resiko atau akibatnya. Diibaratkan demikian, karena orang yang ikut membangun bangunan itu harus sampai selesei dalam arti harus sampai jadi tidak ditinggal ditengah jalan ketika bangunan masih jadi separo dengan alasan takut kotor. Hal ini berlaku juga kalau kita membantu masalah teman atau orang lain harus sampaiselesi dan mau enanggung resiko apapun yang akan terjadi.

Sedangkan ungkapan ora gopak pulut kok mangan nangkane berarti tidak ikut merasakan getahnya tetapi ikut makan buah nangkanya. Tidak ikut bersusah payah atau bekerja keras tetapi ikut menikmati hasilnya. Biasanya diucapkan pada orang yang sukanya enak-enakan tetapi ketika membagi hasil dia malah menyerobot orang lain.

Berdasarkan ungkapan yang dicontohkan di atas, sebenarnya masih banyak lagi ungkapan tradisional yang masih berkembang dan digunakan oleh masyarakat. Sebagai contoh lain sastra lisan yang terdapat dalam masyarakat misalnya dalam bentuk nyanyian rakyat. Pada umumnya, nyanyian rakyat digunakan untuk mengiringi sebuah permainan rakyat. Misalnya lagu E dayohe teka berikut.

E dayohe teka

E jeberna klasa

E klasane bedhah

E tambalen jadah

E jadahe mambu

E pakakna asu

E asune mati

E buangen kali

E kaline banjir

E buangen pinggir

Untuk memperoleh pesan, makna, maupun fungsi dari sebuah karya sastra dapat dilakukan dengan penafsiran. Penafsiran sebuah karya sastra dapat bersifat bebas. Maksudnya adalah sebuah sastra lisan dapat ditafsirkan ke beberapa hal, tergantung konteks yang dikehendaki. Oleh sebab itu, sastra lisan tergolong karya yang terbuka terhadap penafsiran. Tafsiran boleh bebas, asalkan mampu mengungkap apa yang ada dibalik karya itu, terutama makna simbolik. Sebelum melakukan penafsiran, maka perlu dilakukan transliterasi. Hasil translit terhadap lagu di atas adalah sebagai berikut.

E tamunya datang

E siapkan tikar

E tikarnya sobek

E tutup saja dengan jadah (terbuat dari ketan)

E jadahnya basi

E berikan ke anjing

E angjingnya mati

E buang saja ke sungai

E sungainya banjir

E buang saja ke tepi

berdasarkan lagu di atas dapat diperoleh tafsiran sebagai berikut. E dayohe teka dapat dimaknai sebagai kedatangan malaikat pencabut nyawa. Oleh sebab itu, E gelarna klasa yaitu kita sebagai manusia yang tentu saja pasti akan meninggal harus mempersiapkan segala sesuatunya. Persiapan untuk menghadapi kematian tidak lain adalah amal selama di dunia. Tetapi E klasane bedhah, E tambalen jadah, E jadahe mambu, E pakakna asu, E asune mati, E buangen kali, E kaline banjir, E buangen pinggir merupakan usaha manusia yang sia-sia. Jika kematian sudah datang maka tidak akan ada yang bisa dilakukan manusia untuk memperbaiki segala dosanya. Oleh sebab itu, pesan yang ingin disampaikan melalui lagu tersebut yaitu sebagai manusia hendaklah beramal baik selama di dunia sebagai bekal atau persiapan untuk menyambut kematian yanga akan datang.

Seperti yang telah diungkapkan di atas, lagu tersebut bersifat bebas. Artinya, penafsiran boleh berbeda oleh tiap penafsir. Sebagai contoh penafsiran lain terhadap lagu tersebut misalnya, tamu yang datang bukanlah ditafsirkan sebagai malaikat pencabut nyawa melainkan sebagai sebuah kelahiran seorang anak. Tentu saja hal ini juga tidaklah salah asalkan mampu mengungkap apa yang ada dibalik karya sastra itu.

Selain nyanyian tersebut yaitu lagu Sluku-sluku bathok. Nyanyian dari lagu sluku-sluku bathok adalah sebagai berikut.

Sluku sluku bathok

Bathoke ela elo

Sirama menyang Solo

Leh olehe payung mutho

Mak jenthit lololobah

Wong mati ora obah

Yen obah ngedeni bocah

Yen urip golek duwit

Lagu di atas umumnya dinyanyikan oleh orang tua kepada anaknya yang baru bisa duduk. Jika kita artikan sesuai dengan bahasa Indonesia, maka hasil translitnya adalah sebagai berikut.

Sluku-sluku bathok (meluruskan kedua kaki sambil duduk)

Bathoknya ela-elo (kedua lututnya digerakkan oleh kedua tangan)

Mandilah ke kota Solo

Membawa oleh-oleh berupa payung mutho

Mak jenthit lololobah

Orang yang meninggal tidak bisa bergerak

Jika bergerak akan menakuti anak-anak

Jika masih hidup mencari uang

Secara sepintas, lagu tersebut hanya berisi rangkaian kata-kata yag ditujukan kepada anak-anak. Namun, jika kita mampu memahami makna tersirat yang ada di dalamnya, maka akan terdapat pesan yang mendalam yang ditujukan kepada manusia yang masih hidup di dunia. Secara kodrati, semua manusia akan meninggal kelak. Mereka yang meninggal tidaklah membawa harta benda, pangkat, serta kedudukan melainkan hanyalah amal mereka selama di dunia. Kalimat yen urip golek duwit, tidak hanya dapat kita artikan secara tersurat saja melainkan ada makna tersirat di dalamnya. Oleh sebab itu, pesan yang ingin disampaikan oleh lagu tersebut yaitu memperingatkan kepada manusia sbelum mereka meninggal untuk mengumpulkan amal selama di dunia sebagai bekal nanti di akhirat.

Keberadaan sastra lisan di sekitar kita tentu banyak sekali jumlahnya yang ungkin tidak kita sadari keberadaannya. Mengingat bahwa sastra lisan merupakan warisan budaya maka seyogyanya kita mengembangkan warisan budaya yang kita miliki sebagai aset budaya. Tentu saja ini akan menambah khasanah budaya yang telah kita miliki. Contoh yang terdapat dalam uraian di atas merupakan sebagian kecil dari sastra lisan yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Oleh sebab itu, sebagai masyarakat yang berbudaya dan memiliki nilai yang luhur maka sudah seharusnya kita ikut menggali potensi serta melestarikan budaya yang kita miliki sebaik-baiknya.