Selasa, 10 November 2009

SENI PERTUNJUKAN MODERN SEBAGAI BUDAYA INDUSTRI

PENDAHULUAN

Hakekat seni pertunjukan adalah gerak, adalah perubahan keadaan. Karena itu substansinya terletak pada imajinasi-imajinasi serta prosesnya sekaligus. Suatu daya rangkum adalah sarananya, suatu cekaman rasa adalah tujuan seninya, keterampilan teknis adalah bahannya. Contoh dari seni pertunjukan diantaranya drama, teather dan tari.
Kebiasaan disengaja inilah yang memunculkan istilah seni pertunjukan, suatu ungkapan seni yang digelar untuk dipertontonkan kepada umum. Apalagi dengan adanya media televisi sangat global dalam menampilkan beragam acara yang ditayangkan. Ungkapan-ungkapan seni dimulai dari musik populer, tarian latar bagi lagu dan penyanyi serta berbagai sinetron yang kejar tayang.
Pada saat seni pertunjukan telah mengalami pergeseran fungsi. Perkembangan Zaman telah membuat fungsi dari seni pertunjukan semakin liberal. Adanya seni dalam sebuah pertunjukan tak lagi diutamakan. Pertunjukan yang ada saat ini lebih menitikberatkan pada selera pasar. Pertunjukan yang dikatakan sukses haruslah memiliki jaringan konsumen yang besar. Dengan adanya anggapan bahwa sukses tidaknya sebuah pertunjukan diukur dari selera konsumen, maka mereka sebagai pencipta seni pertunjukan tak lagi mengutamakan tentang seni itu sendiri. Hal ini terbukti dengan banyaknya sebuah karya pertunjukan yang sukses dipasaran, tetapi kualitas seninya kurang. Kebanyakan masyarakat, mereka malah lebih suka menonton pertunjukan yang demikian. Dengan demikian munculah istilah populer.
Jika dibandingkan dengan perkembangan pertunjukan yang ada pada masa dulu, tentu saja banyak terjadi pergeseran. Jika dahulu seseorang menciptakan sebuah pertunjukan sebagai media untuk mengekspresikan seni, akan berbeda dengan seni pertunjukan sekarang. Orang-orang berlomba-lomba menciptakan seni pertunjukan untuk menciptakan pertunjukan yang berdaya jual tinggi.

SENI PERTUNJUKAN MODERN YANG BERDAYA JUAL

Budaya industri seni pertunjukan mau tak mau merasuki budaya masyarakat bangsa dan negara Republik Indonesia. Mau menonton asal ada saweran, mau menikmati budaya sakral dan budaya khas Nusantara asal berbayar. Penonton barulah boleh menikmati seni pertunjukan. Kultur industrial mulai masuk dalam kemasan dan paket hiburan yang berdaya tarik yang bernilai jual. Pola bayar-membayar untuk menonton seni pertunjukkan ini, meski akhirnya menuai protes karena saban pentas kerap diperjualbelikan dan diperdagangkan justru menimbulkan ketegangan. Mau kemana seni industri dan seni pertunjukan di Indonesia ini? Jawaban dari Butet Kartaredjasa, pemakalah berjuluk “Seni Pertunjukan dan Kultur Industrial?” (Kamis 12/7 pukul 10.00 WIB di Ruang Merak Balai Sidang Jakarta pada Pekan Produk Budaya Indonesia) boleh jadi cocok dengan kondisi seni pertunjukan dan kultur industrial saat ini.
Yang pertama-tama perlu dicermati ketika membicarakan perihal hubungan antara seni pertunjukan dengan laju perkembangan industrial adalah pembedaan antara seni pertunjukan sebagai aktivitas atau proses dan seni pertunjukan sebagai produk. Memang antara proses dan produk seharusnya tidak terpisah. Tapi di sini yang harus dibedakan dengan jelas adalah bahwa proses dalam seni pertunjukan mengacu pada aktivitas sosial atau aktivitas yang memiliki akar kuat dalam kultur masyarakat tradisional kita. Di sini seni pertunjukan merupakan bagian dari budaya tradisional seperti dalam ritual-ritual keagamaan atau upacara tradisional yang lain.
Dalam aktivitas tradisional semacam itu, seni pertunjukan sama sekali berbeda dengan aktivitas dalam kebudayaan industrial. Upaya komodifikasi terhadap seni pertunjukan sebagai proses dapat dikatakan nyaris mustahil karena kegiatan sosial semacam itu merupakan bagian dari pemenuhan kebutuhan komunal masyarakat tempat seni tersebut tumbuh. Seni pertunjukan tidak akan mati jika masyarakat penyangga yang tradisional itu masih hidup, ini dapat kita jumpai dalam berbagai seni pertunjukan tradisional di Jawa, Bali, dan berbagai suku yang lain.
Wayang kulit adalah contoh yang paling bagus. Hingga hari ini pergelaran wayang kulit tidak pernah mati dan para dalang wayang kulit masih terus bertahan di tengah gempuran industri hiburan modern. Salah satu menyebab bertahannya pertunjukan wayang kulit adalah pola kehidupan tradisional yang kuat meski para penonton sudah memasuki cara hidup modern. Upaya modifikasi atau pemoderan gaya pertunjukan wayang kulit (dengan instrumen musik dan bintang tamu selebritis misalnya) hanya berguna sebagai aksen. Istilah Jawanya hanya sebagai penglaris. Selebihnya wayang kulit tetap bertahan dengan pola tradisional, mulai dari pakem cerita hingga bangunan aksesori yang dibutuhkan dalam musik atau plot yang sudah menjadi baku.
Wayang kulit di Jawa (Tengah) masih menjadi bagian dari upacara sosial yang penting. Artinya, wayang kulit tidak hanya dilihat sebagai produk, melainkan bagian dari ekspresi dan artikulasi sosial-budaya para penonton. Dia memiliki akar yang kuat dalam kesadaran para penonton. Wayang kulit juga masih menjadi bagian penting dari kebudayaan lisan masyarakat Jawa. Dalam kasus wayang kulit, antara proses dan produk sama sama penting. Proses dalam arti bahwa wayang kulit adalah seni pertunjukan lisan yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat dalam budaya lisan yang kuat. Sementara produknya (pertunjukan wayang kulit) itu merupakan perwujudan dari budaya lisan Jawa yang sampai sekarang belum tergantikan oleh seni pertunjukan modern yang ada.
Seni pertunjukan modern (drama, film, sinetron) yang diproduksi oleh industri hiburan di Indonesia selama ini selalu menggunakan bahasa Indonesia, sementara masyarakat kita dalam kehidupan sehari-hari masih banyak yang menggunakan bahasa daerah masing-masing. Artinya, seni pertunjukan modern belum menjadi bagian (proses) berbahasa masyarakat di daerah-daerah. Maka, seni pertunjukan semacam ini hanya dapat diambil sebagai produk, dan bukan sebagai proses.
Dalam budaya industrial yang mementingkan produk massal, seni pertunjukan hams dilihat sebagai produk. Dalam kebudayaan tradisional seni pertunjukan lebih dilihat sebagai proses. Maka, jika berbicara bagaimana membangkitkan seni pertunjukan sebagai bagian dari industri, kita harus mengambil sebagai produk. Maka jika orang menciptakan seni pertunjukan dalam budaya industrial, orientasinya juga produk.
Pertanyaannya adalah, bagaimana memproduk seni pertunjukan melulu sebagai produk jika tidak didukung oleh proses yang kuat? Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa seni pertunjukan sebagai seni (kreatif) akan menghadapi bahaya jika harus memenuhi arus percepatan produksi massal dalam kecepatan tinggi. Banyak seniman seni pertunjukan (berbasis seni tradisi atau seni modern) yang akhirnya menjadi mekanis akibat memenuhi tuntutan percepatan produksi. Para seniman menjadi kehabisan energi dan ide sehingga hanya mengulang-ulang produk.
Asasnya kemudian bukan pada kreativitas orisinal, melainkan pada reproduksi. Suatu produk akan direpro terus-menerus, kalau perlu dibuat ulang dengan versi baru, begitu seterusnya, agar memenuhi target (kejar tayang). Jika kemudian suatu produk dirasa sudah habis daya jual, maka dibuang saja lalu menciptakan bentuk lain yang belum tentu suatu inovasi baru. Masyarakat industrial pada dasarnya memang tidak peduli dengan orisinalitas. Sesuatu yang hari ini ngetrend dan dianggap baru, besok sudah usang dan dilupakan. Maka besoknya orang memerlukan sesuatu yang baru, meski hal itu hanya pengulangan dari yang lama. Kebaruan bukan pada isi, melainkan pada kemasan.
Itulah asas reproduksi dalam budaya industrial. Yang penting adalah tampilan atau kemasan, dan bukan substansi atau saripati atau isi di balik kemasan itu. Sebenarnya watak manusia industrial dalam hal ini tidak berbeda jauh dengan watak masyarakat tradisional (budaya lisan) yang cepat melupakan sesuatu dan besok mengunyah sesuatu yang lain. Besoknya lagi sudah bosan dan lupa dengan sesuatu itu, lalu melupakannya lagi. Begitu seterusnya.

KESIMPULAN

Dalam perkembangan seni pertunjukan di Indonesia telah banyak terjadi hubungan lintas budaya antarsuku-suku bangsa di Indonesia. Para seniman yang melakukan “anjangsana” budaya pada dasarnya telah mempunyai kesiapan untuk membuka diri dan menyibak sumber-sumber baru di hadapannya merupakan suatu misteri atau pun tantangan. Sikap dasarnya telah siap untuk menerima situasi multikultural sebagai suatu
Budaya industri seni pertunjukan mau tak mau merasuki budaya masyarakat bangsa dan negara Republik Indonesia. Mau menonton asal ada saweran, mau menikmati budaya sakral dan budaya khas Nusantara asal berbayar. Penonton barulah boleh menikmati seni pertunjukan. Kultur industrial mulai masuk dalam kemasan dan paket hiburan yang berdaya tarik yang bernilai jual. Pola bayar-membayar untuk menonton seni pertunjukkan ini, meski akhirnya menuai protes karena saban pentas kerap diperjualbelikan dan diperdagangkan justru menimbulkan ketegangan.
Yang pertama-tama perlu dicermati ketika membicarakan perihal hubungan antara seni pertunjukan dengan laju perkembangan industrial adalah pembedaan antara seni pertunjukan sebagai aktivitas atau proses dan seni pertunjukan sebagai produk. Memang antara proses dan produk seharusnya tidak terpisah. Tapi di sini yang harus dibedakan dengan jelas adalah bahwa proses dalam seni pertunjukan mengacu pada aktivitas sosial atau aktivitas yang memiliki akar kuat dalam kultur masyarakat tradisional kita. Di sini seni pertunjukan merupakan bagian dari budaya tradisional seperti dalam ritual-ritual keagamaan atau upacara tradisional yang lain.
Upaya komodifikasi terhadap seni pertunjukan sebagai proses dapat dikatakan nyaris mustahil karena kegiatan sosial semacam itu merupakan bagian dari pemenuhan kebutuhan komunal masyarakat tempat seni tersebut tumbuh. Seni pertunjukan tidak akan mati jika masyarakat penyangga yang tradisional itu masih hidup, ini dapat kita jumpai dalam berbagai seni pertunjukan tradisional di Jawa, Bali, dan berbagai suku yang lain.

LEGENDA PETILASAN SANG PRABU SRI AJI JOYOBOYO


Joyoboyo merupakan sosok yang terkenal sebagai seorang raja pada zaman Kerajaan Kediri. Ia terkenal karena Kerajaan Kediri mencapai masa kejayaan pada zaman pemerintahan Joyoboyo yaitu pada tahun 1135-1157 Ma¬sehi. Selain menjadi seorang raja, Joyoboyo juga dikenal sebagai seorang yang sakti. Ia dipercaya memiliki kejernihan batin sehingga Ia mampu memperkirakan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Ramalan-ramalan ini diwujudkan dalam kitabnya yang terkenal yaitu Jangka Jayabaya.
Meskipun demikian, masyarakat banyak yang kurang tahu mengenai Legenda Petilasan Sri Aji Joyoboyo. Petilasan ini terletak di Desa Menang Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri. Legenda merupakan salah satu bentuk karya sastra lisan yang harus dilestarikan. Legenda Petilasan Joyoboyo ini merupakan warisan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Kediri, terutama bagi masyarakat Menang.
Petilasan berasal dari istilah Jawa yaitu kata dasar tilas yang berarti bekas. Petilasan merupakan suatu tempat yang pernah disinggahi atau didiami oleh seseorang yang dianggap penting. Pada umumnya, yang disebut sebagai petilasan adalah tempat tinggal, tempat beristirahat (dalam pengembaraan yang relatif lama), tempat pertapaan, atau tempat terjadinya peristiwa penting.
Semasa hidupnya, Raja Joyoboyo memiliki seorang permaisuri yang bernama Dewi Sara. Dari hasil perkawinannya, Raja Joyoboyo memiliki tiga orang putri dan seorang putra. Tiga orang putri tersebut adalah Dewi Pramesti, Dewi Pramuna, Dewi Sasanti, dan seorang putra bernama Raden Jayaamijaya. Namun, pada saat ketiga putrinya telah dewasa dan menikah. Mereka bertiga diceraikan dan menjadi janda. Padahal, saat Dewi Pramasti diceraikan, ia sedang hamil.
Pada masa kehamilan Dewi Pramasti yang telah mencapai sembilan bulan, Dewi Pramasti tidak juga melahirkan. Ia malah terus menerus kesakitan selama tujuh hari tujuh malam. Melihat keadaan putrinya yang demikian, maka Raja Joyoboyo dan istrinya memohon petunjuk dewata. Waktu itu, Raja Joyoboyo mendapat bisikan bahwa Ia harus melepaskan kedudukannya sebagai titisan Batara Wisnu. Demi cucu dan mengingat bahwa usianya telah semakin lanjut, maka ia segera ngraga sukma yaitu melepaskan sukma sebagai titisan Dewa Wisnu.
Tidak lama kemudian lahirlah seorang putra yang diberi nama Anglingdarma. Lahirnya Anglingdarma ditandai dengan suasana alam yang benar-benar menakutkan. Kilat sambung menyambung, hari gelap gulita dan gempa pun menggoncang bumi. Seolah dunia akan berakhir saat itu juga. Melihat keadaan tersebut, Raja Joyoboyo memanggil seluruh perwira dan kerabat keraton. Beliau mengumumkan tentang kelahiran Anglingdarma. Dari tubuh Anglingdarma tampak sinar (cahaya) terang memancar. Tapi bersamaan dengan itu pula para perwira dan kerabat kaget. Raja Joyoboyo muksa, kembali ke alam kelanggengan.
Petilasan Sri Aji Joyoboyo dibagi menjadi dua tempat yaitu Pamuksan Joyoboyo dan Sendang Tirtokamandanu. Meskipun terdiri dari dua tempat yang terpisah, tetapi merupakan satu kesatuan. Sebelum memasuki Petilasan Sri Aji Joyoboyo, kita akan melewati tiga pintu. Dalam hal ini, masyarakat Jawa percaya jika manusia pasti mengalami tiga alam kehidupan, yaitu alam kandungan, alam nyata, dan alam sukma atau alam akhirat.
Sesuai dengan asal katanya, pamuksan dapat diartikan sebagai tempat muksa dari Prabu Joyoboyo. Menurut legenda yang ada, Joyoboyo tidak dikatakan meninggal tetapi Ia muksa yaitu menghilang bersama jasadnya. Dalam pamuksan ni terdapat loka muksa, loka busana dan loka makuta. Masyarakat percaya terhadap hal tersebut, karena sampai sekarang jasad Joyoboyo tidak diketemukan.
Pamuksan Sri Aji Joyoboyo dipugar pada 22 Februari 1975 dan diresmikan pada 17 April 1976. Loka muksa yaitu tempat muksanya Prabu Joyoboyo. Loka busana adalah tempat busana dari Prabu Joyoboyo, sedang¬kan loka makuta adalah tempat mahkotanya.
Sedangkan Sendang Tirtokamandanu merupakan sendang yang dipakai oleh Joyoboyo sebelum Ia muksa. Tirto berarti air dan kamandanu berarti kehi¬dupan. Jadi Tirtokamandanu dapat diartikan sebagai air kehidupan. Dalam hal ini adalah hidup kembali menjadi seseorang yang suci. Masyarakat percaya air sendang tersebut mampu mensucikan. Oleh sebab itu, sebelum masyarakat berdoa meminta berkah mereka akan mandi di sendang terlebih dahulu. Sendang Tirtokamandanu dipugar
pada tahun 1982. Pemugaran ini diprakarsai oleh Keluarga Besar Hondodenta, Keraton Jogjakarta, yang dikoordinir oleh Sri Sultan HamengkuBuwono VI.
Mengingat bahwa Joyoboyo adalah tokoh yang sakti, maka banyak masyarakat yang datang ke petilasan untuk meminta berkah. Tidak hanya terbatas pada warga sekitar saja tetapi juga masyarakat luar Kediri. Bagi masyarakat, ter¬da¬¬¬¬pat empat tempat yang dianggap sakral yaitu loka muksa, loka busana, loka makuta, dan sendang tirtokamandanu. Loka muksa dianggap sebagai tempat muksanya Prabu Joyoboyo. Loka busana merupakan tempat busana. Loka makuta berarti tempat mahkota. Sedangkan sendang tirtokamandanu merupakan pe¬mandian yang digunakan oleh Joyoboyo sebelum Ia muksa.
Selain dianggap sebagai tokoh yang sakti, Joyoboyo merupakan leluhur dari masyarakat Kediri. Oleh karena itu kepercayaan masyarakat terhadap peti¬lasan pun masih sangat tinggi. Masyarakat selalu menyelenggarakan upacara adat atau ritual khusus sebagai bentuk kepercayaan masyarakat terhadap petilasan. Ritual ini dilaksanakan setiap tanggal 1 Muharam atau 1 Suro. Dalam upacara ini biasanya berupa arak-arakan yang dimulai dari balai desa Menang menuju ke loka muksa lalu berakhir di sendang Tirtokamandanu.
Selain sebagai salah satu bentuk sastra lisan, legenda petilasan ini juga sebagai warisan budaya yang dimiliki oleh masyarakat. Tidak hanya sebagai aset bagi warga masyarakat Menang saja karena telah dipotensikan sebagai tempat wisata daerah Menang, tetapi juga bagi bangsa Indonesia karena legenda adalah salah satu bentuk khasanan budaya bangsa Indonesia yang harus dilestarikan.