Senin, 11 Mei 2009

Apa itu Sastra Lisan?

Sastra lisan merupakan karya sastra yang dapat kita temukan dalam masyarakat. Sastra lisan merupakan karya sastra yang beredar di masyarakat atau diwariskan secara turun-menurun dalam bentuk lisan. Dalam hal ini, sastra lisan dapat disebut sebagai folklor. Folk merupakan sebuah komunitas masyarakat tertentu yang memiliki ciri-ciri dan budaya yang sama. Sedangkan lore merupakan sebagian kebudayaan masyarakat yang disampaikan secara turun-menurun dalam bentuk lisan. Jadi, folklor atau sastra lisan adalah suatu kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat tertentu yang diperoleh secara turun-temurun dari mulut ke mulut secara lisan.

Banyak sekali sastra lisan yang ada di sekitar kita yang mungkin saja tidak kita sadari keberadaannya sebagai bentuk sastra. Sastra lisan bermacam-macam. Macam-macam dari sastra lisan ini antara lain sebagai berikut.

  1. Bahasa rakyat seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan.
  2. Ungkapan tradisional seperti peribahasa, pepatah, dan pemeo.
  3. Pertanyaan tradisional seperti teka-teki.
  4. Puisi rakyat seperti pantun, gurindam, dan syair.
  5. Cerita prosa rakyat sepeti mite, legenda, dan dongeng.
  6. Nyanyian rakyat.

Sastra lisan yang dimiliki oleh suatu daerah tertentu, umumnya akan berbeda dengan yang lain. Bahkan dalam daerah yang bersangkutan terdapat kemungkinan tentang adanya versi. Hal ini tidak menjadi persoalan karena ciri khas dari sebuah karya sastra lisan adalah dengan adanya versi. Namun, hal yang menjadi perhatian kita adalah tentang keberadaan sastra lisan yang ada di daerah kita. Memang banyak peneliti yang telah mengkaji sastra lisan yang ada di Indonesia, tetapi masih banyak juga sastra lisan yang terlewatkan oleh peneliti.

Sastra lisan merupakan warisan budaya yang kita miliki. Sudah seharusnya kita sebagai bagian dari masyarakat untuk melestarikannya agar jangan sampai semua itu luntur. Sastra lisan merupakan kajian yang menarik jika kita mampu menelusuri lebih dalam tentang sebuah sastra lisan. Banyak hal yang terkandung dalam sebuah sastra lisan, tidak hanya mencakup makna simbolik, fungsi, serta nilai tetapi juga dapat kita kaji aspek strukturnya sebagaimana struktur dalan sebuah karya sastra. Seperti halnya dengan sebuah karya sastra, sastra lisan dapat ditafsirkan sebagai langkah untuk memperoleh pesan, makna, dan fungsi.

Sebagai contoh terdapat ungkapan endas gundul dikepeti, melu ngudek luluh yo kudu gelem reged, maupun ungkapan ora gopak pulut kok mangan nangkane. Sesuai dengan bahasa yang digunakan, ungkapan tersebut dipakai oleh masyarakat Jawa. Memang tidak semua masyarakat Jawa masih menggunakan, namun ungkapan ini masih dapat ditemui di daerah Trenggalek, Ponorogo dan sekitarnya. Jika dianalisis, maka tiap ungkapan tersebut memiliki pesan yang tersirat.

Pada ungkapan yang pertama yaitu endas gundul dikepeti, artinya sudah enak di enak-enakan lagi. Orang yang hidupnya sudah enak malah dimanja oleh orang lain. Biasanya ungkapan ini diucapkan kepada anak orang kaya yang dimanja. Atau orang kaya yang diperlakukan baik di bidang hukum. Kemudian ungkapan melu ngudek luluh yo kudu gelem reged. Ungkaan tersebut berarti ikut mencampur bahan betonnya harus mau kotor. Maksudnya jika kita ikut menyelesaikan masalah, maka kita juga harus berani menanggung resiko atau akibatnya. Diibaratkan demikian, karena orang yang ikut membangun bangunan itu harus sampai selesei dalam arti harus sampai jadi tidak ditinggal ditengah jalan ketika bangunan masih jadi separo dengan alasan takut kotor. Hal ini berlaku juga kalau kita membantu masalah teman atau orang lain harus sampaiselesi dan mau enanggung resiko apapun yang akan terjadi.

Sedangkan ungkapan ora gopak pulut kok mangan nangkane berarti tidak ikut merasakan getahnya tetapi ikut makan buah nangkanya. Tidak ikut bersusah payah atau bekerja keras tetapi ikut menikmati hasilnya. Biasanya diucapkan pada orang yang sukanya enak-enakan tetapi ketika membagi hasil dia malah menyerobot orang lain.

Berdasarkan ungkapan yang dicontohkan di atas, sebenarnya masih banyak lagi ungkapan tradisional yang masih berkembang dan digunakan oleh masyarakat. Sebagai contoh lain sastra lisan yang terdapat dalam masyarakat misalnya dalam bentuk nyanyian rakyat. Pada umumnya, nyanyian rakyat digunakan untuk mengiringi sebuah permainan rakyat. Misalnya lagu E dayohe teka berikut.

E dayohe teka

E jeberna klasa

E klasane bedhah

E tambalen jadah

E jadahe mambu

E pakakna asu

E asune mati

E buangen kali

E kaline banjir

E buangen pinggir

Untuk memperoleh pesan, makna, maupun fungsi dari sebuah karya sastra dapat dilakukan dengan penafsiran. Penafsiran sebuah karya sastra dapat bersifat bebas. Maksudnya adalah sebuah sastra lisan dapat ditafsirkan ke beberapa hal, tergantung konteks yang dikehendaki. Oleh sebab itu, sastra lisan tergolong karya yang terbuka terhadap penafsiran. Tafsiran boleh bebas, asalkan mampu mengungkap apa yang ada dibalik karya itu, terutama makna simbolik. Sebelum melakukan penafsiran, maka perlu dilakukan transliterasi. Hasil translit terhadap lagu di atas adalah sebagai berikut.

E tamunya datang

E siapkan tikar

E tikarnya sobek

E tutup saja dengan jadah (terbuat dari ketan)

E jadahnya basi

E berikan ke anjing

E angjingnya mati

E buang saja ke sungai

E sungainya banjir

E buang saja ke tepi

berdasarkan lagu di atas dapat diperoleh tafsiran sebagai berikut. E dayohe teka dapat dimaknai sebagai kedatangan malaikat pencabut nyawa. Oleh sebab itu, E gelarna klasa yaitu kita sebagai manusia yang tentu saja pasti akan meninggal harus mempersiapkan segala sesuatunya. Persiapan untuk menghadapi kematian tidak lain adalah amal selama di dunia. Tetapi E klasane bedhah, E tambalen jadah, E jadahe mambu, E pakakna asu, E asune mati, E buangen kali, E kaline banjir, E buangen pinggir merupakan usaha manusia yang sia-sia. Jika kematian sudah datang maka tidak akan ada yang bisa dilakukan manusia untuk memperbaiki segala dosanya. Oleh sebab itu, pesan yang ingin disampaikan melalui lagu tersebut yaitu sebagai manusia hendaklah beramal baik selama di dunia sebagai bekal atau persiapan untuk menyambut kematian yanga akan datang.

Seperti yang telah diungkapkan di atas, lagu tersebut bersifat bebas. Artinya, penafsiran boleh berbeda oleh tiap penafsir. Sebagai contoh penafsiran lain terhadap lagu tersebut misalnya, tamu yang datang bukanlah ditafsirkan sebagai malaikat pencabut nyawa melainkan sebagai sebuah kelahiran seorang anak. Tentu saja hal ini juga tidaklah salah asalkan mampu mengungkap apa yang ada dibalik karya sastra itu.

Selain nyanyian tersebut yaitu lagu Sluku-sluku bathok. Nyanyian dari lagu sluku-sluku bathok adalah sebagai berikut.

Sluku sluku bathok

Bathoke ela elo

Sirama menyang Solo

Leh olehe payung mutho

Mak jenthit lololobah

Wong mati ora obah

Yen obah ngedeni bocah

Yen urip golek duwit

Lagu di atas umumnya dinyanyikan oleh orang tua kepada anaknya yang baru bisa duduk. Jika kita artikan sesuai dengan bahasa Indonesia, maka hasil translitnya adalah sebagai berikut.

Sluku-sluku bathok (meluruskan kedua kaki sambil duduk)

Bathoknya ela-elo (kedua lututnya digerakkan oleh kedua tangan)

Mandilah ke kota Solo

Membawa oleh-oleh berupa payung mutho

Mak jenthit lololobah

Orang yang meninggal tidak bisa bergerak

Jika bergerak akan menakuti anak-anak

Jika masih hidup mencari uang

Secara sepintas, lagu tersebut hanya berisi rangkaian kata-kata yag ditujukan kepada anak-anak. Namun, jika kita mampu memahami makna tersirat yang ada di dalamnya, maka akan terdapat pesan yang mendalam yang ditujukan kepada manusia yang masih hidup di dunia. Secara kodrati, semua manusia akan meninggal kelak. Mereka yang meninggal tidaklah membawa harta benda, pangkat, serta kedudukan melainkan hanyalah amal mereka selama di dunia. Kalimat yen urip golek duwit, tidak hanya dapat kita artikan secara tersurat saja melainkan ada makna tersirat di dalamnya. Oleh sebab itu, pesan yang ingin disampaikan oleh lagu tersebut yaitu memperingatkan kepada manusia sbelum mereka meninggal untuk mengumpulkan amal selama di dunia sebagai bekal nanti di akhirat.

Keberadaan sastra lisan di sekitar kita tentu banyak sekali jumlahnya yang ungkin tidak kita sadari keberadaannya. Mengingat bahwa sastra lisan merupakan warisan budaya maka seyogyanya kita mengembangkan warisan budaya yang kita miliki sebagai aset budaya. Tentu saja ini akan menambah khasanah budaya yang telah kita miliki. Contoh yang terdapat dalam uraian di atas merupakan sebagian kecil dari sastra lisan yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Oleh sebab itu, sebagai masyarakat yang berbudaya dan memiliki nilai yang luhur maka sudah seharusnya kita ikut menggali potensi serta melestarikan budaya yang kita miliki sebaik-baiknya.